Upah Layak: Hak Asasi, Lebih dari Sekadar Gaji

ARTIKEL

Admin F-SB SEMAR

12/6/20253 min read

poster upah layak
poster upah layak

Upah adalah harga dari sebuah pekerjaan, namun bagi miliaran orang di dunia, upah bukanlah harga yang cukup untuk menjamin kehidupan yang bermartabat. Secara global, hampir 241 juta pekerja hidup dalam kemiskinan ekstrem, sebuah realitas pahit yang menyoroti kegagalan sistem ketenagakerjaan dalam menjamin hak ekonomi, sosial, dan budaya. Di Indonesia, fenomena ini sangat terasa di provinsi-provinsi dengan industri padat karya yang besar, seperti Jawa Tengah, di mana standar Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) seringkali jauh di bawah kota-kota metropolitan seperti Jakarta atau pusat industri di Jawa Barat.

Apa itu Upah Layak?

Upah layak adalah pendapatan minimum yang dibutuhkan seorang pekerja yang bekerja selama minggu kerja standar (tanpa jam lembur yang eksploitatif) untuk memenuhi kebutuhan dasar dan mewujudkan hak asasi manusia mereka. Upah ini memperhitungkan biaya hidup esensial, meliputi:

  • Pangan dan Perumahan

  • Energi, Air, dan Kebersihan

  • Perawatan Kesehatan dan Pendidikan

  • Pakaian dan Transportasi


Upah layak dihitung berdasarkan biaya hidup riil di suatu lokasi, sering menggunakan metodologi kompleks seperti Anker Methodology. Memberikan upah layak adalah upaya nyata untuk mengangkat pekerja keluar dari siklus kemiskinan dan memungkinkan mereka mengakses hak-hak fundamental mereka.

Masalah Hak Asasi Manusia

Konsep upah layak selaras dengan jaminan hak asasi manusia dalam kerangka hukum internasional, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) dan Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Kewajiban negara adalah menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, yang berarti negara berkewajiban memastikan pekerja dapat menikmati kehidupan yang bermartabat.

Lebih jauh, upah layak juga merupakan alat penting untuk mengatasi kesenjangan upah gender global, di mana perempuan berpenghasilan rata-rata 20% lebih rendah daripada laki-laki.

Upah Minimum Bukan Upah Layak

Meskipun lebih baik daripada tidak ada sama sekali, upah minimum seringkali menjebak orang dalam lingkaran kemiskinan. Ketika pemerintah menetapkan upah terendah, upah tersebut seringkali menjadi upah tertinggi yang akan diterima pekerja di beberapa industri, alih-alih berfungsi sebagai batas bawah.

Jerat Upah Minimum di Jawa Tengah

Di Indonesia, Upah Minimum (UM) ditetapkan oleh pemerintah sebagai batas terendah yang secara hukum boleh dibayarkan oleh pemberi kerja. Namun, UM seringkali jauh dari memadai dan tidak sepenuhnya mencerminkan biaya hidup yang sebenarnya.

Kasus Industri Padat Karya di Jawa Tengah

Fenomena ini sangat menonjol di provinsi dengan basis industri padat karya yang kuat, seperti Jawa Tengah (Jateng). Sektor seperti garmen, tekstil, dan alas kaki, yang didominasi oleh perempuan, sengaja didorong ke daerah-daerah dengan UM yang rendah.

  • Daya Tarik Investasi Murah: Pemerintah daerah dan pusat seringkali mempertahankan UM yang rendah sebagai insentif untuk menarik investasi dari perusahaan multinasional besar (terutama di industri garmen dan alas kaki) yang mencari biaya tenaga kerja murah.

  • Perang Upah Regional: Kebijakan ini menciptakan persaingan ketat antar daerah. Pengusaha di Jateng ditekan untuk mengikis upah pekerja agar mereka dapat bersaing mendapatkan pembeli global dibandingkan pemasok dari Jawa Barat atau negara lain.

  • Korban Upah Rendah: Akibatnya, pekerja, terutama perempuan, yang mendominasi lantai produksi garmen di Jateng, menjadi pihak yang paling terdampak oleh upah yang rendah. Upah mereka tidak hanya lebih rendah dari pekerja laki-laki (kesenjangan upah gender), tetapi juga tidak cukup untuk menutupi kebutuhan esensial keluarga di tengah laju inflasi.

Perusahaan multinasional besar seringkali memanfaatkan kekuatan dan pengaruh mereka atas pemasok regional, mendikte harga beli yang pada akhirnya menentukan upah pekerja, alih-alih mengakui biaya sebenarnya dari tenaga kerja yang layak dan bermartabat.

Jalan ke Depan: Menyeimbangkan Skala Kekuasaan

Meskipun belum ada satu pun negara yang secara hukum mewajibkan upah layak sesuai standar ILO, perubahan harus dimulai dari pengakuan bahwa membayar upah layak adalah kewajiban hak asasi manusia, bukan sekadar praktik bisnis yang baik.

Penting bagi pemerintah di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, untuk:

  • Mengakui Kewajiban Hukum: Pemerintah harus mengakui kewajiban mereka untuk memastikan pekerja dapat menikmati kehidupan yang bermartabat.

  • Melibatkan Organisasi Buruh: Setiap proses untuk meningkatkan upah dan kondisi kerja harus melibatkan aktivis dan serikat pekerja, karena mereka adalah pakar terdepan dalam pendekatan berbasis hak untuk upah yang adil.

  • Mengubah Narasi Ekonomi: Pemerintah dan pengusaha perlu menyadari bahwa argumen 'ekonomi tetesan ke bawah' (yang menyatakan bahwa pertumbuhan bisnis kaya akan mengalir ke bawah) telah banyak dibantah. Meningkatkan pendapatan masyarakat miskin dan kelas menengah justru terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan ($4,6 triliun tambahan PDB global diperkirakan dari upah layak global).


Perjuangan untuk upah layak di Jawa Tengah adalah perjuangan bersama. Tantangan untuk menyeimbangkan skala kekuasaan ekonomi dan memastikan bahwa keringat pekerja (padat karya) dihargai secara adil, memungkinkan mereka dan keluarga mereka hidup di atas garis kemiskinan dan mencapai hak-hak asasi mereka sepenuhnya.

Peran serikat buruh tidak hanya terbatas pada menuntut kenaikan angka, tetapi juga pada pendidikan dan pemberdayaan pekerja, memastikan bahwa mereka memahami bahwa upah layak adalah hak dan kewajiban moral-hukum bagi pemberi kerja. Melalui persatuan dan perjuangan terorganisir, serikat buruh adalah kekuatan penyeimbang yang esensial dalam menyeimbangkan skala kekuasaan dan memastikan martabat pekerja terpenuhi.